MKcFF1HGV2DPvVbWNgdht7btX7dQr3BVPEQS9h6n

Kisah Seorang Pemuja Siluman Buaya

Kisah ini berawal ketika saya masih duduk di bangku kuliah di universitas swasta di Cirebon. Selain kuliah, saya juga bekerja sebagai cameraman di studio foto dan video shooting yang menyediakan jasa fotografi dan videografi untuk mendokumentasikan pesta pernikahan, khitanan, dan acara lainnya. Kebetulan, studio itu tidak jauh dari tempat tinggal saya di kampung.

Pada saat selesai musim panen padi tiba, biasanya di daerah Cirebon banyak yang menggelar pesta hajatan, baik itu pernikahan maupun khitanan. Studio tempat saya bekerja juga otomatis kebanjiran job untuk mendokumentasikan momen yang sangat berharga itu.

Ilustrasi siluman Buaya di air
Sumber foto : pixabay.com

Di penghujung bulan Mei tahun 2013, papan agenda studio tertulis satu daerah yang berada di perbatasan Cirebon dan Kuningan, tepatnya di daerah pesawahan. Mau tidak mau, saya harus mengerjakan shooting itu ke daerah sana meskipun sendirian karena teman-teman yang lain dibagi ke wilayah lain. Waktu itu saya agak sedikit malas untuk berangkat karena daerah itu kurang begitu ramai dan jalannya juga turun naik. Maklum, daerah itu merupakan daerah kaki Gunung Ciremai. Namun, apapun hambatannya, saya tetap berangkat dengan ditemani motor Honda Blade kesayangan saya.

Setelah satu jam lebih, akhirnya saya sampai di tempat hajat. Setelah istirahat sejenak di warung kopi dekat rumah hajat, saya pun bergegas untuk mendokumentasikan aktivitas di dalam hajatan itu. Pada acara hajatan itu, dihibur dengan grup organ tarling dangdut yang berasal dari Indramayu. Kebetulan, job yang saya dapat juga dari pimpinan grup tersebut.

Jujur saja, saya sempat terkagum-kagum dengan rumah si empunya hajat yang megah dan mewah, bagai istana. Dalam hajatan itu pula, segala dekorasi tenda, pelaminan, serta jamuan untuk tamunya dibuat super mewah dan elegan. Namun, dalam hati, saya sempat heran. Kok kenapa makanan yang lezat-lezat itu para tamu undangan tidak banyak yang menikmatinya? Malah tamu yang datang cuma sekedar memberi amplop dan berjabat tangan dengan tuan hajat. Sekalipun ada yang mengambil jamuan di meja prasmanan, mereka hanya sekedar menghormati saja.

Ketika saya dan tim rekan-rekan grup tarling istirahat untuk sholat dzuhur, kami diberi tahu oleh tetangga yang punya hajat tersebut. "Mas, jangan makan di acara hajatan itu, karena ada kekhawatiran bahwa pemilik hajatan menggunakan pesugihan dan mungkin saja kita bisa terkena dampaknya. Kalau mau makan, beli saja di luar." Akhirnya, saya dan rekan-rekan juga sepakat untuk tidak menikmati apapun dari si empunya hajat.

Malam pun mulai menyambut. Hingar bingar lighting panggung dan menggelegar suara sound system membuat saya fokus menata pencahayaan dan audio di handycam supaya hasilnya maksimal. Tidak ada keanehan selama pentas dangdut itu, semua berjalan dengan lancar. Namun, saat jam 00.00 WIB ketika berganti acara dengan drama tarling, keanehan pun mulai terjadi.

Saat itu, sang pembawa acara membacakan narasi tentang cerita yang akan dimainkan serta menyebutkan nama-nama pemain yang berperan dalam cerita itu. Kala itu, cerita yang dibawakan berjudul "Pintu Hitam". Cerita ini berkisah tentang menantu yang selalu dihina dan dicela oleh mertuanya karena miskin dan tidak punya pekerjaan. Akhirnya, si menantu itu gelap mata dan melakukan persekutuan gaib dengan siluman buaya Kali Cimanuk. Dia menjadi kaya raya, namun sesudah kaya, dia menghilang dengan menceburkan dirinya sendiri ke Kali Cimanuk.

Sesudah sang pembawa acara selesai membacakan narasinya, tiba-tiba diesel yang merupakan sumber listrik untuk lampu dan sound system panggung mati total. Anehnya, ini dibarengi juga dengan mati lampu sehingga keadaan benar-benar gelap, ditambah lagi hujan angin yang begitu kencang. Padahal waktu itu sedang musim kemarau. Saya tetap bertahan di atas panggung sementara teman-teman yang lain sibuk mengamankan alat-alat musik mereka. Petir, gledek bersahutan di udara. Tanpa disadari, bapak yang punya hajat dari dalam rumah merangkak seperti seekor buaya menuju ke luar halaman.

Mereka yang melihat kejadian itu semua ketakutan. Namun, tidak bagi saya. Saya malah mengeluarkan lagi handycam yang sudah saya masukan ke dalam tas. Saya sorot terus si bapak yang punya hajat tersebut dengan memakai pengaturan infra merah sehingga gambar lumayan jelas.

Sekitar 30 menit kemudian, keadaan normal seperti biasa. Hujan sudah reda, penerangan sudah mulai menyala, dan bapak tuan hajat tadi dibawa masuk oleh istri dan keluarganya. Akhirnya, saya pun pulang menuju studio dan saya masukan hasil shooting tadi ke komputer untuk proses editing. Namun, pas waktu kejadian ketika bapak tuan hajat merangkak seperti buaya itu, gambar sama sekali hitam setelah di-input ke komputer.

Itulah sepenggal pengalaman mistis saya saat menjadi cameraman. Kisah ini saya persembahkan kepada pembaca setia Cerita Misteri. Sekarang, saya bekerja sebagai manajer pengendalian operasional di salah satu perusahaan logistik di daerah Cikarang, Bekasi.

Posting Komentar