-->
MKcFF1HGV2DPvVbWNgdht7btX7dQr3BVPEQS9h6n

Cerita Mulung Muncang: Tradisi yang Membekas di Hati

Dulu, sekitar akhir tahun '90-an, ada satu kegiatan yang bikin anak-anak di kampung saya di Sumedang sibuk setelah pulang sekolah yaitu Mulung Muncang suatu Hiburan Masa Kecil yang Tak Tergantikan. Nggak ada gadget, nggak ada game online, tapi hidup kami tetap seru dengan kegiatan sederhana ini. Mungkin sekarang anak-anak lebih kenal Mobile Legends atau PUBG, tapi saat itu, hiburan kami ya di kebun atau hutan dekat rumah.

Pohon Muncang dengan berbagai manfaatnya tumbuh subur di sana, menjulang tinggi dengan daunnya yang rindang. Buah muncang, yang jatuh alami, jadi incaran kami. Kebanyakan anak kecil bahkan orang dewasa ikut mulung muncang. Tradisi ini nggak cuma soal mencari buah, tapi juga soal kebersamaan. Serunya nggak kalah sama "rank match" zaman sekarang!

Jenis-Jenis Muncang: Pilihan untuk Adu Tangguh

Kalau sudah bicara muncang, kami dulu punya tiga karakter favorit. Bayangin aja seperti memilih hero di game, masing-masing punya keunggulan:

  • Muncang Dampak: Isi dua biji dalam 1buah, permukaannya datar. Kurang cocok untuk adu muncang, tapi tetap dikoleksi. 
  • Muncang Sanelu: Isi tiga biji dalam satu buah. Bentuknya sedikit menjulang, bikin dia cukup unik, tapi jarang dipakai untuk bertanding. 
  • Muncang Gendul: Favorit sepanjang masa! Isinya cuma satu, bentuknya bulat sempurna, dan bawahnya menjulang. Paling sering jadi andalan dalam pertandingan. 

Kami sering lomba siapa yang dapat muncang gendul paling bagus. Rasanya bangga banget kalau berhasil nemu jagoan untuk diadu.

Ngadu Muncang: Arena Kecil, Antusiasme Besar

Kalau sudah punya muncang, saatnya ngadu muncang! Permainan ini jadi puncak keseruan. Arena dibuat sederhana tapi penuh inovasi:

  • Alasnya terbuat dari belahan bambu (cemped) untuk menopang muncang.
  • Supaya nggak langsung pecah, permukaan diberi lapisan sandal jepit bekas.

Cara main Ngadu Muncang juga gampang: Muncang yang lebih besar diletakkan di bagian bawah sebagai dasar, sedangkan muncang yang lebih kecil diletakkan di atasnya. Keduanya kemudian ditutup dengan cemped (belahan bambu yang dipakai untuk menahan bagian atas muncang). Agar aman, bagian pinggir muncang tersebut dibalut dengan kain bekas atau lamak untuk mengurangi risiko pecahan atau muncang terlempar saat dipukul. Setelah itu, muncang dipukul menggunakan kayu atau balok dengan tenaga yang cukup.

Pemenangnya adalah muncang yang tetap utuh. Kalau kalah? Ya siap-siap muncangnya pecah berkeping-keping. Momen paling lucu adalah kalau muncang jagoan kalah telak. Teman-teman langsung heboh, ada yang ketawa sampai berguling di tanah. Rasanya seperti kekalahan tim sepak bola favorit!

Mulung Muncang dan Cerita Mitos-Mitosnya

Dulu saat saya kecil, tradisi mulung muncang bukan sekadar hiburan. Di balik aktivitas mencari buah muncang di kebun atau hutan, ada kisah-kisah mitos yang menyelimuti. Pohon muncang sering kali dikaitkan dengan cerita misteri yang membuat kami anak-anak semakin berhati-hati.

Misalnya, ketika kami mencari muncang dan berjalan di hutan pada saat gerimis, ada teman yang bercerita soal Aden-Aden Nenek Aseupan. Sosok ini dipercaya sering muncul di area sepi, terutama kebun dan hutan. Jika kami terlalu ribut atau mengambil muncang tanpa izin, katanya, Nenek Aseupan bisa muncul membawa aseupan di punggungnya.

Di sisi lain, kalau kami bermain terlalu sore, mitos tentang Sanekala sering menjadi alasan kami untuk segera pulang. Konon, makhluk senja ini sering terlihat berkeliaran saat matahari hampir tenggelam. Apalagi hutan sekitar pohon muncang memang gelap dan sunyi, cocok untuk memicu imajinasi kami.

Pernah juga kami melihat tumpukan daun kering di sekitar kebun. Ada teman yang bilang kalau itu adalah tempat favorit Jurig Jarian. Sosok seram ini, menurut cerita, suka menunggu anak-anak yang bermain terlalu jauh dari rumah. Serem banget kan? 

Dan juga cerita tentang Kalong Wewe. Beberapa pohon muncang tua sering dikaitkan dengan kelelawar raksasa yang dipercaya sebagai jelmaan makhluk ini. Bahkan, ketika mendengar suara kelelawar di malam hari, suasana jadi makin menegangkan.

Namun, justru cerita-cerita seperti ini yang membuat tradisi mulung muncang semakin seru. Ada rasa penasaran, sedikit takut, tapi juga semangat untuk mencari muncang terbaik.

Makna di Balik Tradisi: Lebih dari Sekadar Permainan

Di balik permainan ini, ada banyak nilai yang nggak kami sadari waktu itu:

  • Kerja keras: Cari muncang terbaik butuh usaha, dari masuk hutan sampai memanjat pohon.
  • Kreativitas: Membuat arena dari bahan seadanya melatih kami untuk berpikir inovatif.
  • Kompetisi sehat: Ngadu muncang mengajarkan kami bagaimana menerima kemenangan dan kekalahan.

Muncang di Masa Kini: Nilai Tradisi yang Harus Dijaga

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai memudar. Anak-anak lebih sibuk dengan teknologi, dan pohon muncang pun semakin jarang ditemukan. Padahal, tradisi seperti ini punya nilai budaya yang penting. Kalau pohon muncang terus dijaga, siapa tahu tradisi ini bisa dihidupkan lagi.

Buat saya, mulung muncang adalah bagian dari masa kecil yang tak tergantikan. Setiap kali melihat muncang, rasanya seperti membuka lembaran nostalgia. Bukan cuma buah, muncang adalah simbol kebersamaan, kreativitas, dan kebahagiaan sederhana.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Mungkin sekarang mulung muncang sudah jarang, tapi nilai-nilai di balik tradisi ini tetap relevan. Mulung muncang mengajarkan kita bahwa kebahagiaan nggak harus mahal. Dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar, kita bisa menciptakan momen-momen tak terlupakan. Jadi, kalau kamu lagi main ke Sumedang atau daerah yang masih ada pohon muncangnya, coba deh cari tahu tentang tradisi ini. Siapa tahu, kamu bisa merasakan sedikit dari keseruan yang pernah kami alami dulu!

DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika artikelnya dirasa bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk memperpanjang domain www.ceritamisteri.com. Terima kasih.

Posting Komentar