Banyak orang bertanya-tanya, kenapa sih nggak ada jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Bali? Padahal jaraknya cuma sekitar 4.000 meter saja. Secara teknologi dan arsitektur, bikin jembatan sejauh itu bukan hal mustahil—lihat aja Jembatan Suramadu atau bahkan Jembatan Penang di Malaysia. Tapi ternyata, alasan kenapa jembatan Jawa-Bali belum dibangun hingga sekarang nggak sesederhana itu. Bukan cuma soal dana, tapi juga soal budaya, kepercayaan lokal, hingga tantangan geologis yang cukup ekstrem.
Usulan Sudah Ada Sejak Tahun 1960
Menurut Kompas.com, gagasan membangun jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Bali sudah muncul sejak tahun 1960, dicetuskan oleh Prof. Sedyatmo dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sayangnya, ide ini ditolak oleh sejumlah tokoh adat dan pemuka agama di Bali. Salah satunya adalah komang Arsana, tokoh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jembrana.
Penolakan tersebut didasari oleh kepercayaan dalam mitologi Sidantra, yang menyebutkan bahwa Pulau Jawa dan Pulau Bali memang sengaja dipisahkan oleh kekuatan tak kasat mata untuk menjaga keseimbangan dunia manusia dan dunia tak terlihat. Jika jembatan dibangun, diyakini akan mengganggu harmoni antara alam, manusia, dan energi gaib yang mengatur keseimbangan semesta menurut pandangan masyarakat Hindu Bali.
Tinggi Jembatan = Masalah Serius di Bali
Masalah lainnya datang dari aturan lokal terkait batas maksimal tinggi bangunan di Bali. Kalau jembatan dibangun, pasti konstruksinya bakal menjulang tinggi, bahkan bisa melebihi pura atau tempat ibadah. Padahal, menurut ajaran Hindu Bali, tidak boleh ada bangunan—termasuk hotel, apartemen, atau jembatan—yang tingginya melebihi pura atau tempat pemujaan suci.
Aturan ini bukan cuma kepercayaan, tapi juga sudah diatur secara hukum melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023. Dalam perda tersebut, tinggi maksimal bangunan dibatasi hanya 15 meter, atau setara dengan empat lantai. Makanya, jangan heran kalau kamu jarang nemu gedung pencakar langit di Bali. Bahkan hotel berbintang pun tetap mengikuti aturan ini dengan desain rendah dan menyatu dengan alam.
Alasan Ilmiah, Bukan Cuma Soal Keyakinan
Selain soal budaya dan adat, dari sudut pandang ilmu teknik sipil dan geologi, proyek jembatan Jawa-Bali juga sangat menantang. Berikut ini beberapa faktor teknis yang bikin proyek ini jadi sulit direalisasikan:
1. Rawan Gempa & Erupsi Gunung Berapi
Selat Bali berada di wilayah zona seismik aktif, bagian dari Cincin Api Pasifik. Ini artinya, kawasan tersebut rawan gempa bumi dan erupsi gunung berapi seperti Gunung Agung dan Ijen. Membangun struktur besar seperti jembatan di wilayah rawan bencana jelas butuh teknologi super canggih dan biaya tinggi. Risiko kerusakannya pun besar.
Menurut BMKG, gempa dengan kekuatan 5+ sering terjadi di sekitar Selat Bali dalam 10 tahun terakhir.
2. Arus Laut Kuat dan Tidak Stabil
Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, arus di Selat Bali bisa mencapai 2,5–3,5 knot, tergantung musim dan pasang surut. Arus kuat ini membuat proses konstruksi bawah laut menjadi rumit dan berisiko tinggi.
3. Kedalaman Laut Tidak Merata
Selat Bali punya kedalaman yang fluktuatif—rata-rata bisa mencapai 60 hingga 100 meter. Ini membutuhkan tiang pancang super panjang dan kuat, belum lagi tantangan pemasangan di dasar laut yang tidak stabil.
4. Biaya dan Return of Investment Rendah
Untuk membangun jembatan laut yang tahan gempa, korosi, dan abrasi, dibutuhkan dana triliunan rupiah. Tapi sayangnya, volume kendaraan Jawa–Bali tidak sebesar lintas Jawa–Sumatra. Artinya, pengembalian modal dari proyek ini dianggap belum layak secara bisnis.
Jadi, Bukan Karena Nggak Bisa, Tapi...
Pembangunan jembatan Jawa-Bali sebenarnya bukan hal yang mustahil dari sisi teknologi. Tapi perpaduan antara mitos lokal, aturan adat, resiko geologis, hingga pertimbangan teknis dan ekonomi membuat proyek ini terus ditunda bahkan ditinggalkan.
Di satu sisi, masyarakat Bali masih sangat menjunjung harmoni antara manusia dan alam, termasuk menghormati aturan tak tertulis dan kepercayaan yang diwariskan leluhur. Di sisi lain, secara ilmiah, risiko dan biaya juga masih terlalu besar dibanding manfaatnya.
Jadi, buat kamu yang masih penasaran kenapa nggak ada jembatan Jawa-Bali, jawabannya bukan cuma satu. Tapi kombinasi dari budaya, kepercayaan, peraturan lokal, hingga fakta geologi dan teknologi modern.
Posting Komentar